"SCHOOL" for study or just to get the mark??

Diposting oleh yasinta , Kamis, 22 April 2010 22.34

1. Belajar untuk Nilai

Tidak peduli bisa atau tidak, tidak peduli entah apa manfaatnya mempelajari ini sepuluh tahun lagi, yang penting pada saat ujian mendapat nilai terbaik. Kalau harus mencontek? kenapa tidak? Nilai yang bagus adalah tujuan utama dalam belajar, bagi orang-orang yang sedikit jujur, dia tidak tergiur untuk mencontek, tapi di malam harinya mati-matian belajar ekstra-keras, belajar bukan untuk kemanfaatannya, belajar untuk nilai. Sambil belajar, sambil menerka-nerka materi mana saja yang kemungkinan keluar.

2. Nilai mencerminkan apa ya?

Suatu ketika seorang siswa mendapat nilai yang pas-pasan untuk materi yang diujikan kepadanya. Lalu seorang pengajar mengatakan “beruntung ujiannya tertulis, coba kalau wawancara, pasti lebih jelek nilai kamu”.

Jadi, penilaian dilakukan untuk mencerminkan apa si? Apakah nilai dibuat hanya untuk kamuflase, sementara apabila diujikan dengan metode lain apalagi sampai praktek langsung yang mengena, bisa jadi nilainya jauh lebih jelek dari nilai yang didapat?

siswanya yang bodoh, atau materinya yang susah, atau pengajarnya yang … kalau begitu?

3. Bagaimana nilai itu dibuat si?

Misalnya, ada tiga komponen penilaian, pre-test, materi dan post-test, lalu pre test diberi bobot 25%, begitu jug post test, sedangkan materi diberi bobot sisanya, 50%. Nah, berdasarkan riset sequalified apakah pembobotan itu dibuat?

Materi yang sekian kali pertemuan hanya doboboti 2x lipat dari pre-test yang hanya 30 menit.

4. Lebih beruntung yang nilainya jelek

Seuatu ketika seorang teman raut mukanya berubah menjadi cemberut sesudah melihat daftar pengumuman nilai, saya tanyai, oh ternyata dia kecewa dengan nilainya. Jelek nilainya, tidak juga, dia dapat B, tapi dia kecewa karena tidak dapat A.

Di kali yang lain seorang teman kegirangan dikabari nilainya sudah keluar oleh seorang teman. Bagus nilainya? tidak juga, dia dapat D, tapi dia senang karena dia tidak wajib mengulang.

Dua puluh tahun sesudahnya, si nilai B berpotensi akan tumbuh menjadi pribadi yang merasa kurang terus, sudah jadi supervisor, kecewa karena tidak jadi manajer, sudah jadi manajer, kecewa karena kurang tinggi gajinya, dan seterusnya, capek.

Sedangkan si nilai D berpotensi menjadi orang yang pandai. Pandai? ya, pandai menangkap peluang dalam krisis sekalipun. Jadi, siapa yang sukses-mulia-bahagia di hari depannya?

5. Adilkah penilaian?

Setiap orang berbeda-beda selera makanannya, ada yang senang dengan mie ayam, ada yang senang dengan nasi goreng dan ada yang senang dengan tahu gecot. Tapi di sekolah, semua diberikan menu yang sama : nasi goreng.

Adilkah bagi yang menyukai tahu gecot dan mie ayam? adilkah bagi yang alergi dengan goreng-gorengan? Tidak peduli apapun tipe kecerdasannya, tidak peduli apapun modalitas belajarnya, tidak peduli sedang bagaimanapun kondisi psikologisnya, salah sendiri sudah mendaftar.

6. Sekolah, tempat belajar atau tempat menilai?

Di sekolah, pengajar pasti mengajar, tapi apakah yang diajar pasti belajar? Belajar itu bukan keharusan, membuat nilai, itu yang keharusan. Kadang-kadang juga tidak diamati, sudah pada memahami atas yang dipelajari atau belum, yang penting nilai bisa dibuat.

Anehnya, ada yang mengajar sudah bertahun-tahun, dari tahun pertama sampai tahun ini dia mengajar muridnya tidak pernah paham dan tidak pernah enjoy dengan cara mengajarnya eh dia tidak tahu. Jadi, pengajarpun perlu belajar dari caranya sendiri mengajar, sayang tidak semua pengajar belajar.

7. Lalu bagaimana seharusnya nilai dibuat?

Ada terlalu banyak variabel subyektif yang ada pada diri setiap siswa yang diajarnya, soal modalitas belajarnya, soal perkembangan pola pikirnya, “teacheable”-nya, sebab-sebab kehadiran dan ketidakhadirannya. Bagi pengajar yang menjadikan mengajar sebagai profesi untuk menebus pendapatan bulanan saja, semua itu tidak penting. Tetapi bagi Umar Bakri dan guru-guru sejati, hal-hal subyektif itu lebih penting dari apapun.

8. Impact Nilai

Nilai yang tinggi bisa membuat yang dinilai terlena, atau bagi beberapa orang “biasa saja” imbasnya, tapi bagi sebagian orang lainnya justru menjadi hal yang menyenangkan dan memacunya belajar.

Nilai yang buruk bisa menjadi vonis diri negatif, atau bagi sebagian orang lainnya sebagai dalih untuk cuek saja belajar, toh semaksimal apapun belajar juga paling segitu-segitu saja.

9. Pengajar itu hakim atau pengacara si?

Tinggal pilih saja, menjadi pengajar yang seperti hakim, yang dari waktu ke waktu pekerjaannya memvonis yang diajar dengan nilai-nilai yang entah seberapa “accurable” itu. Atau menjadi pengajar yang seperti pengacara, melayani siswa-siswa yang sudah membayarnya dengan pelayanan subyektif yang senantiasa berusaha memenangkan kliennya itu dalam setiap persoalan belajar.

10. Kejar nilai untuk bisa bermain saja

Jadi, sia-sia masa muda kalau hanya dipakai untuk mengejar nilai. Terlalu banyak hal yang bisa kita pelajari diluar hal-hal yang mendapat penilaian formal. Satu-satunya alasan kenapa nilai harus di kejar dalam sistem pendidikan saat ini adalah, agar kita bisa tetap bermain, itu saja. Mau bagaimana lagi, sedang dilapangan tenis, tidak bisa kita menggunakan peraturan catur, mau tidak mau ya harus memenuhi prasyarat peraturan tenis.

Mari, lebih bijak mengartikan “nilai”. Jangan sampai kita menjadi matre, bukan matre karena uang, tapi matre karena nilai. Mengejar-ngejar mati-matian hal semu, yang jelas-jelas semu seperti di 10 point di atas bernama “nilai”.

0 Response to ""SCHOOL" for study or just to get the mark??"

Posting Komentar